Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #8Hari Pertama Melakoni Laga

Tournament, day 1
Siapa sangka, menjadi guru mengantarkan kami pada banyak wisata.
Mengenal budaya masyarakat dayak salah satunya.
Foto bersama para penari cilik.
Acara pembukaan Olimpiade Sains, Olahraga, dan Seni Nasional (O2SN)
Lebih Populer dengan kata PORSENI 

Sebuah mobil truck hijau telah membunyikan klakson di depan rumah Ibu Eka. Masih sangat pagi dan jemputan telah datang, kami bergegas menaikkan barang yang telah dipersiapkan malam sebelumnya. 3 jam kemudian kami telah tiba di Kampung Merapun.
Merapun kelihatan lebih ramai dengan deretan rumah yang rapat dan jalan aspal di pusat keramaiannya. Meskipun masih termasuk perkampungan orang-orang Dayak, komposisi masyarakatnya lebih heterogen dengan banyaknya pendatang yang mengadu nasib di sana. Sebuah perusahaan sawit yang berhasil merebut hutan hujan tropis dari masyarakat adat dan merubahnya menjadi hutan kelapa sawit yang terbentang luas menjadi daya tarik tersendiri untuk para pendatang yang kebanyakan berasal dari bagian timur Indonesia, termasuk orang-orang bugis.
Perpaduan budaya yang terdapat di kampung Merapun menjadi salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya perkembangan dalam banyak sektor kehidupan. Akses jalan lebih mudah, informasi lebih cepat, dan fasilitas-fasilitas publik lebih lengkap daripada perkampungan lain yang ada di kecamatan Kelay. Dengan semua itu maka tidak heran jika kegiatan PORSENI bukan kali pertama diadakan di Merapun. Ada dua sekolah dasar yang menjadi tuan rumah dan merekalah yang menjadi favorite juara umum tahun ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Setelah upacara pembukaan yang dihadiri oleh kepala dinas kabupaten Berau, dan dimeriahkan oleh tari-tarian khas suku Dayak, lomba lari 100 meter untuk putra dan putri langsung dimulai.
“Amos, Yenni, siap-siap! Kita akan segera bertanding.”
“Boleh pake sepatu kah, Pak guru? Kaki aku sakit” kata Amos sambil menunjuk bekas tusukan paku di telapak kakinya.
“Iya, nak. Ayo cepat!” kami langsung menuju ke kerumunan di tengah lapangan bola. Panitia memperbolehkan peserta memakai sepatu atau tidak, tapi kebanyakan melepas sepatu karena rumputnya agak licin.
“Amos, Yenni, kalian perhatikan cara startnya ya, seperti yang pak guru ajarkan, jangan melewati garis dan fokus dengan wasitnya, ketika peluit berbunyi kalian langsung tancap gas dan jangan berhenti atau menoleh kanan kiri sampai melewati garis finish. Lihat, ada garis pembatas, kalian jangan masuk dalam jalur pelari yang lain, Ok!”
“Ok, pak guru!” terlihat wajah tegang mereka dan sangat jelas bahwa keramaian memengaruhi mental mereka.
“Kalian semua, ayo berikan semangat kepada saudara kalian, tangan di dalam dan mari berteriak yang keras” seluruh pasukan termasuk para guru membentuk lingkaran kecil kemudian menyatukan tangan di tengah.
“Laamcin, Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa” hentakan suara yang keras menggema seantero lapangan, membuat konsentrasi massa sejenak tertuju kepada kami. Nama Lamcin mulai dikenal. Amos langsung melangkah dengan pasti menuju garis start.
“Bersedia, Siaaappppp, Priiiiitttt” Wasit meniup peluit dan 7 pelari telah meninggalkan posisinya, tapi Amos masih diam di sana.
“Lari, Mos!” teriakku dengan lantang. Seperti terkaget, Amos langsung berlari tapi telah tertinggal sekitar 2 meter.
Nafasku tertahan karena tegang, sungguh tak siap jika pada putaran awal team kami langsung kalah. Deretan penonton terlihat berbaris rapat, berteriak riuh mendukung jagoan mereka masing-masing. Sengatan mentari pagi menambah panasnya pertandingan. Terlihat di dalam lintasan Amos bergerak cepat seperti sedang mengejar babi, dia satu-satunya peserta yang tidak melepaskan sepatu. Dengan cepat ia melewati peserta lain yang larinya melambat karena kehabisan nafas, kini nampak jelas 3 peserta terdepan yang mendekati garis finish dan Amos salah satunya. Peluit kembali berbunyi, para pelari telah melewati garis finish. Saya langsung mendekat tak sabar melihat hasilnya dan ternyata Amos menempati posisi 2, ia berhak melaju ke babak final.
Di momen ini, latihan baris berbaris memenuhi panggungnya.
Gagah perkasa pasukan Lamcin yang dinahkodai oleh Pak Adi.
Momen ini bukan sekedar berseragam olahraga sekolah,
ini adalah eksistensi.

Bukan tegang, barisan sedang menguji mental para pesaing.

“Wow, very goog my boy! Give me ten!” dia nampak sangat kelelahan tapi senyum bahagia tetap tergurat di wajahnya.
“Larimu sangat cepat, luar biasa. Perhatikan bunyi peluit pada saat permulaan ya, kamu bisa yang tercepat, tadi kamu tertinggal beberapa langkah saja”
“Siap, pak guru!”
“Ok, Good. Sekarang kamu istirahat.” Saya kemudian meninggalkan Amos dan mengejar Yenni yang sudah bersiap-siap di garis start.
“Yenni, dengarkan aba-aba siap, nak. Jangan tertinggal satu langkah pun. Pandangan terus kedepan sampai finish. Mengerti!”
“Mengerti, Pak guru!”
“Bersedia, Siaaappp….” Peluit belum berbunyi dan beberapa atlet langsung berlari, penonton menjadi riuh, sebagian mengolok dan yang lain sok menyemangati. Kulihat wajah Yenni semakin gugup.
“Santai, nak. Itu sudah biasa terjadi. Tetap fokus” saya mencoba menenangkan dia.
“Bersedia, Siaaappppp, Priiiitttt” seluruh peserta langsung berlari termasuk Yenni, awal yang baik. Dia meninggalkan beberapa peserta yang lain, dan berada pada posisi 4 terdepan, saya mulai tersenyum dan berpikir dia akan menang. Tapi tiba-tiba saja larinya melambat, dan satu-persatu peserta lain meninggalkannya. Semakin dekat dengan garis akhir, larinya semakin melambat dan jelas terlihat dia menyeret kaki kirinya. Saya menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal kemudian berlari ke garis finish. Ia berada di posisi 2 paling buncit, gagal ke putaran final.
“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku cepat
“Kaki saya sakit, Pak guru” katanya sambil menghapus keringat di dahi.
“O, ayo sini, kita ke tempat teduh beristirahat, tolong papah temannya, nak” pintaku kepada yang lain.
Putaran final untuk kelompok putra akan segera digelar. 8 pelari yang terseleksi dari 2 gelombang kini berbaris di gari awal. Amos menempati jalur nomor 7 dan sudah siap untuk memenangkan pertandingan. Suara teriakan penonton menambah tegangnya suasana. Pemimpin lomba meniup peluitnya dan seluruh peserta langsung bergerak maju. Amos mengawali laga dengan baik dan akhirnya finish di urutan ke dua. Dia hanya telat sepersekian detik dari pelari tuan rumah yang bertubuh jangkung dengan kulit berwarna gelap, mirip Husain Bolt.
Kami semua langsung menyambut Amos dengan suka cita dan tak henti-hentinya memuji hasil yang dia torehkan. Awal yang sangat baik, satu medali perak telah berhasil kami genggam di hari pertama. Kami kembali membentuk lingkaran lalu berteriak sekencang-kencangnya. “Laamcin, Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa”.
Amos, Pak Adi.
Murid Guru yang menjelma menjadi sepasang sahabat.
Beginilah seharusnya pendidikan itu

Sore itu jadwal pertandingn sangat padat, kurangnya jumlah atlet membuat beberapa anak harus bermain di banyak cabang olahraga yang berbeda. Untungnya, panitia memaklumi dan mau mengaturkan jadwal agar tidak bertabrakan dengan pertandingan yang lain. Sepak takraw dengan mudah dimenangkan 2 set langsung, sepak bola sangat mengejutkan karena team bermain hebat dan unggul dengan skor mutlak 4-0. Sedangkan cabang olahraga yang kami andalkan justru mengalami sedikit kendala, pertandingan volley.
Anak-anak Lamcin terlahir dan tumbuh bersama permainan ini tapi kurangnya informasi yang kami terima membuat kami semua terkejut dengan aturan pertandingan yang diterapkan. Sesuai dengan tingkatan Sekolah Dasar maka pertandingannya adalah pertandingan volley mini. Hanya ada 4 pemain di dalam lapangan yang ukurannya jauh lebih kecil dari lapangan dewasa. Team lamcin sangat kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan yang kecil itu, setiap kali melakukan servis bola mereka melewati lapangan. Terlebih lagi ketika melakukan smash, bola selalu out. Team putra kalah diset pertama, 15-25.
“Bermain rileks, nak. Tidak usah terbebani oleh penonton yang ramai. Ingat, kalian unggul dalam kekuatan tapi terlalu sering mematikan bola dan itu menambah point lawan. Kontrol permainan, jangan terburu-buru, main yang cantik dan usahakan smash menukik, jangan melambung, ini lapangan kecil, Ok!” saya memberikan masukan selayaknya pelatih propesional. Kami kemudian bersorak kompak.
“Are you ready?”
“Yes, yes Ready!”
“Lamcin, Lamcin, Lamcin, huuuuuhaaaa!”
Amos, Welden, Yaret, dan Jeki mengambil posisi dan lawan melakukan servis. Bola tepat kearah jeki yang berada di posisi belakang, jeki melakukan passing ke Yaret yang berada dekat net, Yaret mengangkat bola dan Amos melakukan lompatan tinggi, Smash yang kuat namun bola terhenti oleh jaring net.
“Percobaan yang bagus. Sedikit lagi, Nak!” teriakku di sisi lapangan.
“Long Nguikian, Long Nguikian” sorak sorai pendukung menyemangati lawan kami. Bola kembali menyebrangi net Lamcin, Welden langsung mengembalikan tanpa memberi umpan, pemain Long Nguikian kembali menyebrangkan bola, Yaret melakukan passing bawah kepada Jeki, Jeki kepada Amos dan lagi, dia melepaskan smash keras. Kali ini meluncur dengan tajam tanpa bisa di halau oleh pemain lawan. Skor untuk Lamcin dan sorakan penonton semakin riuh. Kejar-mengejar angka terlihat sangat ketat di set ke dua ini, Lamcin lebih ungul 2 angka dan akhirnya menutup set ini dengan keunggulan 25-22.
“Permainan yang sangat bagus, kalian harus pertahankan itu. Ini set ketiga, set penentuan. Jangan sampai lengah karena kita masih ingin bertanding besok, betul?”
“Betul!”
“Good, menangkan pertandingan ini. Perlihatkan kekompakanmu, mari bersorak!”
Laga perdana cabang bola voli. Jeki menyambut bola.
Sore itu, sengatan mentari masih bengis, mempercepat cucuran keringat para pemain, sporter, dan penonton.

Sementara tim putra bertanding, tim putri melakukan latihan di halaman posko

Pertandingan kembali berlanjut dan anak-anak mulai bisa mengontrol pukulan mereka. Irama permainan semakin menarik dan akhirnya Lamcin keluar sebagi pemenang dengan skor yang cukup telak, 25-12. Setelah itu, pertndingan volley putri juga dimulai dan hasilnya sama menyenangkan dengan skor yang lebih meyakinkan, kemenangan 2 set langsung.
Langit yang tadi berwarna jingga kini berubah menjadi gelap, sore telah habis terbungkus malam dan lapangan perlahan sepi. Kami kembali ke rumah tempat kami menginap yang terletak tak jauh dari lapangan, lalu beramai-ramai menuju sungai untuk membersihkan diri. Sepanjang perjalanan sampai kami pulang dari sungai, anak-anak terus bercerita tentang apa yang telah terjadi, semua merasakan kemenangan dan semua merasa bahagia. Satu pertandingan lagi untuk menutup hari pertama ini, pertandingan bulu tangkis.
Gedung pertandingan sudah sepi ketika Lamcin bertanding melawan Panaan. Walaupun begitu, jalannya pertandingan tetap seru dan sangat mengesankan. Kami yang tidak punya lapangan badminton di kampung tidak berambisi untuk menang bahkan sudah menyiapkan alibi jika benar-benar kalah, “Ya wajarlah kita kalah, raket saja kita tidak punya”. Team ganda putri yang lebih dulu bermain dengan mudah tumbang dari pasangan SD Panaan. Tetapi team putra yang diisi oleh 2 sepupu, Jeki dan Yaret, tampil mengejutkan dengan memberi perlawanan sengit bahkan unggul di set ke tiga dengan kemenangan jus, 17-15. Wow, Unbelieveble. Lagi-lagi kami menang.
Wajah-wajah kelelahan dan mengantuk kini berubah cerah untuk menapaki jalan kembali ke peristirahatan. Sungguh hari yang sangat luar biasa, kemenangan demi kemenangan kami torehkan bahkan sudah memastikan satu medali perak. Kami menutup hari pertama PORSENI dengan sangat gemilang, terlebih karena kami, SD N 012 Kelay adalah pendatang baru dalam even tahunan ini. Rasanya berat untuk move on, ingin kunikmati lebih lama perasaan bahagia seperti ini, tapi rasa kantuk tidak bisa terkalahkan, I must sleep because tomorrow will be more challenging.

***
Baca part lain dari cerita Porseni ini:

0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #8Hari Pertama Melakoni Laga"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa