Porseni, bejuang atau pulang saja #5Menyalakan lilin

Berhenti mengeluhkan kegelapan, saatnya menyalakan lilin
Waktu terus berjalan dan sosok yang kami tunggu-tunggu belum juga muncul. Siapa lagi kalau bukan kepala sekolah. Dialah yang menjadi kunci dalam rangkaian panjang usaha ini. Anak-anak sudah siap, orang tua mendukung, para dewan guru juga sedang on fire, tinggal satu element lagi yang perlu ditambahkan dan ini akan menjadi sempurna, otoritas tertinggi sekolah.
Lamcin di pagi hari. Embun itu ada, sesuatu yang tak pernah
bisa kudefenisikan dengan tepat, apakah air atau asap.
tak pernah bisa, tapi aku suka padanya.
Lamcin. Pagi. Embun.
Sempurna 

Beragam cerita miring tentang sang pemimpin yang bungkam mulai bermunculan. Tentang isu pengunduran diri dari jabatannya yang simpang siur, tentang ketidaksepahamannya dengan bendahara sekolah yang mengakibatkan dana operasional dari dinas pendidikan tidak bisa dicairkan, tentang perang urat saraf antara dia dengan warga kampung yang membuatnya sangat tidak betah untuk mengurus sekolah, tentang kehidupan rumah tangganya yang sedang diterjang badai, tentang masalah pribadi, profesi, dan korupsi. Semakin banyak gossip yang berkembang, semakin banyak pula keluh kesah yang bermunculan.
Gejala ini membuat hati saya gelisah dan mulai memikirkan kemungkinan terburuk “SD N 012 Kelay lagi-lagi absen dalam kegiatan tahunan, SM-3T gagal membawa perubahan!” Ah tidak, jika itu terjadi maka satu tahun masa abdiku akan terasa hambar dan sia-sia. Sungguh memalukan. Siang itu, ketika anak-anak beramai-ramai meninggalkan sekolah, saya dan Ahmad beserta 4 guru lokal membuat rapat kecil-kecilan untuk membahas masalah ini secara serius dan mencari jalan keluarnya. Sebagai moderator dalam rapat itu, saya mulai membuka rapat lalu membacakan satu-satunya agenda pembahasan “pencarian dana kegiatan”.
 “Begini, Pak Saddang” Ibu Eka memulai dengan logat Jawa yang sangat medok, nama saya terdengar jadi SADHANG, “kita hitung dulu berapa total biaya yang kita perlukan, baru kita cari sumber dananya”
“Iya, Pak. Betul itu.” Kata Pak Rendi dengan logat Jawa yang sedikit lebih tipis. Diikuti anggukan dari peserta yang lain.
“Ok, yang kita butuhkan adalah 1. Biaya transportasi dari Lamcin ke Kecamatan, pergi-pulang. 2. Konsumsi selama 7 hari dari tanggal 7-13 februari. 3. Biaya registrasi dan yang terakhir adalah kostum team. Ada masukan bapak ibu sekalian?”
“Saya, Pak Saddang” Pak Adi mengacungkan tangan. “Ada 2 jalur yang bisa kita pakai untuk transportasi, sungai dan darat. Kalau kita pake ketinting, bisa habis 40 liter bensin pergi, pulangnya sekitar 60 karena melawan arus jadi 100 liter itu kurang lebh 1 jt, untuk satu ketinting, dan kita butuh 3 ketinting jadi 3 juta, ditambah dengan pembayaran jasa motorist, anggaplah 1 jt per orang jadi total 6 juta. Sedangkan, kalau kita pake mobil kita butuh 2, sewanya 3.5 juta untuk pergi pulang per mobil, jadi total 7 juta. Itu saja dari saya kalau perhitungan konsumsi, Ibu Eka pasti lebih tau karena dia sudah ibu-ibu.” Hehehe.
Ibu Eka kemudian sibuk mencorat-coret kertasnya, menghitung semua biaya konsumsi yang dibutuhkan, mengambil standar yang paling rendah dan akhirnya menarik kesimpulan bahwa setiap orang menghabiskan Rp.150.000 selama 7 hari, 3 kali makan setiap harinya. “itu sudah yang paling murah, dan semuanya harus dikerja sendiri” katanya mengakhiri.
“Weh murah sekali itu, Buk! Apa tidak salah? Kalimantan ini e, saya paling murah menghabiskan 50 ribu per hari” Kata Ahmad dengan ekspresi terkejut.
“Pokoknya ibu-ibu yang ngomong jadi percaya aja” balas ibu Eka sedikit bercanda lalu tawa kembali pecah.
Setelah pembahasan tentang kebutuhan dana yang disimpulkan sebesar Rp.12.000.000 kami melangkah ke pembahasan cara memerolehnya. “Kita bisa memasukkan proposal bantuan dana atau jasa transportasi kepada perusahaan Amindo” Kata Ahmad memberi masukan.
“Pasti dikasih itu, Pak. Soalnya selama ini kalau kampung punya keperluan, perusahaan selalu bantu, nanti kita minta persetujuan dari kepala kampung kalau perlu” Pak Mared menambahkan dengan penuh keyakinan, dia memang pemuda asli kampung Lamcin.
“Ok, nanti kita susun proposalnya bersama-sama. Ada masukan lain?”
“Bagaimana dengan LSM Payopayo? Siapa tau mereka bisa bantu”
“Ide bagus. Nanti kita bicara langsung sama fasilitatornya, Buk Linlin. Kalau pemerintah kampung dan orang tua murid?” Saya kembali meminta pendapat. Raut wajah peserta rapat sontak mengalami perubahan, ada murung disana dan tiba-tiba suasana menjadi kaku.
“Boleh juga,” kata Pak Rendi dengan ragu “Cuman itu dia Pak, warga kampung selama ini kurang mendukung kegiatan sekolah, apalagi ini kita mau minta dana. Aku kurang enak aja”
“Tidak papa, Pak. Kita coba saja, kumpulkan orang tua wali, kita adakan rapat dan sampaikan kepada mereka tentang kondisi kita sebagaimana adanya. Ya hasilnya biar kita liat nanti. Toh kalau memang mereka tidak bisa membantu dan ujung-ujungnya kita tidak bisa pergi membawa anak-anak, kan mereka paham alasannya.” Saya berusaha meyakinkan.
Keheningan masih terasa dan tiba-tiba Pak Adi mengangkat suara. “Iya, betul juga itu Pak Saddang, selama ini memang orang tua tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sekolah makanya kondisi kita seperti terpisah dari masyarakat dan pemerintah kampung.” Pak Adi mengisyaratkan dukungan.
“Jadi bagaimana ibu bapak sekalian, Sepakat kah kita mengadakan rapat dengan warga?”
“Sepakat!” Terdengar ragu tapi jelas. Senyum tergurat di wajahku dan siang itu juga kami meninggalkan ruang rapat dengan perasaan sedikit terang, seolah-olah ada setitik cahaya di tengah kegelapan.
Saya pulang langsung membongkar file-file yang ada dalam note book biruku, mencari contoh undangan rapat. Ahmad langsung mengedit Prorposal kegiatan dan sore itu juga undangan beserta proposalnya sudah tercetak. Pada malam hari, kami membagi tugas untuk menyebarkan undangan dan tidak butuh waktu terlalu lama untuk meyakinkan orang tua untuk hadir keesokan harinya.
Rapat bersama guru dan orangtua/wali siswa di SDN 012 Kelay.
Pak Mared tersenyum tipis mendengar penyampaian
dari salah satu orangtua.

Waktu sudah pukul 8 tapi pagi masih gelap, hujan baru saja mengguyur kampung dan kabut tebal memangkas jarak pandang. Di ruang kantor yang baru jadi dengan warna hijau terang yang menyejukkan hati, rapat guru dan orang tua wali untuk pertama kalinya terjadi di sekolah. Kali ini, Pak Adi yang berperan sebagai moderator dan saya sendiri sebagai pembicara yang menjabarkan pembahasan rapat serta meyakinkan orang tua bahwa kegiatan ini sangat penting untuk anak-anak mereka.
“Ada tiga elemen penting yang menentukan keberhasilan pendidikan bapak ibu yang saya hormati. Yang pertama adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Yang kedua adalah bapak dan ibu guru yang menjadi pelaksana atau ujung tombak pendidikan dan yang ke tiga adalah masyarakat umum yang membantu dan mengawasi prosesnya. Maka melalui moment ini, peran serta dan kerjasama bapak ibu sangat dibutuhkan” celotehku dengan berapi-apai. Bla bla bla.
Peserta rapat kelihatan sedikit kebingungan dengan apa yang saya katakana, apalagi dengan cara bicara saya yang terlalu cepat seolah sedang berhadapan dengan sekelompok akademisi yang bisa dengan mudah memahami maksud pembicraan. Saya mengurangi kecepatan kemudian menyampaikan hal-hal yang sekiranya nyata di hadapan mereka.
“Ibu bapak masih ingat dengan perayaan natal gabungan 2 bulan lalu? Kampung kita menjadi juara 2 main takraw, dan yang bermain saat itu adalah Yaret, Jeki dan saya sendiri, sedangkan lawan-lawan kita dari kampung lain adalah orang-orang dewasa tapi kita bisa sampe juara 2, itu artinya anak-anak kita bisa berprestasi dan menjadi generasi yang hebat. Mau tidak anak-anak kita menjadi generasi yang hebat, bapak-ibu?”
Anggukan mulai terlihat dari para peserta rapat, dan akhirnya Pak Yohanes, Sekertaris kampung, mengangkat suara. “Kami para orangtua ini, sebenarnya mau juga melihat anak kami seperti anak sekolah di kota, bisa ikut pertandingan atau kegiatan-kegiatan macam ini, kami mau, cuman selama ini kami tidak tau bagaimana caranya. Kalau ada yang mau bawa dan usahakan saya siap membantu.”
“Pak guru, kenapa orangtua harus dimintai uang padahal dana BOS itu banyak, saya tau itu karena saya mantan kepala kampung. Tolong itu dijelaskan karena tidak semua kami ini orang mampu.” Pak Matius mulai membuka keran Uneg-uneg.
“Kami mengerti ketidakpuasan bapak-ibu dengan pengelolaan dana sekolah, hanya saja, kepala sekolah kita kurang aktif (“kurang aktif” sungguh kebohongan besar. TAK PEDULI, lebih tepat) sehingga kami para guru tidak tahu menahu soal dana. Kami tetap mengusahakan untuk memberitahukan beliau, tapi saat ini kami hanya ingin agar kita tidak bergantung pada satu orang dan bisa membawa anak-anak ke Merapun.” Setelah menjelaskan ini itu, akhirnya orangtua maklum.
Ternyata tidak terlalu sulit melakukannya. Tidak ada perdebatan yang berbelit-belit hanya beberapa keluh kesah warga kampung yang merasa tidak puas dengan perkembangan sekolah dan juga kinerja aparat sekolah. Tapi itu adalah hal yang sangat wajar dan akhirnya orang tua mulai membuka diri dengan para guru dan begitu pula sebaliknya. Layaknya setumpukan sampah yang telah lama menghalangi aliran air, tiba-tiba seorang pemulung datang mengobrak-abriknya, mengambil yang dia butuhkan lalu mencampakkan yang tidak berguna lagi. Air mengalir dengan bebas dan sang pemulung merasa lega. Begitulah perasaanku saat itu, perasaan si pemulung sampah.
Tuhan memberi kehidupan dengan menebarkan berjuta pepohonan.
Hutan adalah tangan tuhan untuk memeluk yang bernyawa.
Menjaga yang tak bernyawa.
Aku pernah di sana memandang alam dengan cinta.
mengagumi negeriku yang begitu kaya.
menemui mutiara hidup 

Hasil dari rapat itu sungguh menggembirakan. Orang tua siap menutupi dana konsumsi, sedangkan pemerintah kampung memberikan pendampingan ke perusahaan dan jika perusahaan menolak memberi bantuan maka pemerintah kampung siap menanggung biaya transportasi. Jalan semakin lebar terbuka, dan mimpiku untuk melihat anak-anak berlaga di medan tempur sedikit lagi akan terwujud.
“Berhentilah mengeluhkan kegelapan dan mari menyalakan lilin” kata Anis Baswedan. Kami menyalakan lilin demi secercah cahaya. Menjaganya tetap menyala. Tidak membiarkannya melalap apa saja. Lilin telah menyala, harapan kami bercahaya. Alhamdulillah.
***


0 Response to "Porseni, bejuang atau pulang saja #5Menyalakan lilin"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa