Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #7 Kelay

Kekuatan penuh.
13 pasukan yang akan berperang di medan juang, dan 4 pendamping
Berdiri depan: Saddang, Jeki, Mika, Yaret, Simson, Dion, Yeni, Herlina, Resta, Ibu Linlin
Berdiri belakang: Musa, Juli
Jongkok: Yoses, Pak Nur, Nopel, Firaun, Ahmad
Kelay
Hujan mengguyur perjalanan kami, sedangkan mobil yang kami tumpangi adalah mobil dengan model single cabin. Jadilah 10 penumpang basah kuyup, menggigil kedinginan. Untung saja, barang bawaan kami seperti tas, selimut, peralatan dapur, dan lain-lain telah dimasukkan ke dalam box yang diangkut oleh mobil lainnya bersama 6 penumpang sehingga barang itu aman. Canda dan tawa menemani perjalanan kami pada hari itu sehingga dinginnya cuaca dapat terimbangi dengan hangatnya suasana.
“Siapa yang belum mandi ini? makanya hujan turun!” tanyaku bercanda.
“Yoses, Pak guru!” mereka kompak menunujuk jagoan kelas 4 itu. Yang dihakimi bukannya membela diri malah bangga menjawab sambil menyisir rambutnya dengan 5 jari “Nyata!” lalu semua tertawa.
“Sudah makan semua?” kembali saya bertanya, mencoba mengalihkan perhatian anak-anak dari licinnya medan yang kami lalui.
“Saya sudah, Pak guru” mereka rebutan menjawab seolah-olah akan dapat hadiah satu bintang.
“Jek, makan apa tadi, nak?”
“Ya makan babi, sedaaapp” Jeki tanpa malu mempertontonkan senyum ompongnya.
“kalau saya daging pelanduk, pak guru. Dion menjawab tanpa ditanya.
“Wih, mantap. Siapa yang tangkap, nak?”
“Kakek saya, Pak guru”
“Kalau kamu makan apa Yos?”
Tanpa ragu sedikit pun, Yoses menjawab “monyet, pak guru”
“Apa? Pak guru monyet?” tanyaku memajukan dada.
“Bukan pak guru, yang saya makan itu monyet.”
“O, saya kira kau ngatain pak guru, yos! Enak kah monyet itu?”
“Enak, Pak guru. Yang tidak enak itu orang hutan (baca: orang utan)”
“Kenapa?”
“Iya Pak guru, kayak orang betul rupanya. Ih, jijik sudah saya makannya. Nda tega”
Hahaha rupanya punya rasa jijik juga mereka, tapi untuk satu minggu ini mereka akan berpuasa dengan semua jenis makanan liar itu, tak ada lagi babi, rusa, musang, landak dan sebagainya, karena sebentar lagi mereka akan makan makanan “ringan”, mie instan dan telur, syukur-syukur kalau ada tahu tempe. Jelas ini akan menjadi pelajaran baru buat mereka. Perjalanan terus berlanjut dan sesaat kami semua hening menahan nafas.
Sejenak menenangkan mesin yang lelah berpacu dengan medan.
Terlihat pak supir yang sedang memantau kondisi kendaraannya
Sebuah turunan yang menukik dan langsung disambung dengan tanjakan yang tinggi, mobil meluncur cepat lalu kemudian mengerang kesusahan mendaki. Ban mobil hanya berputar di tempat karena debu jalanan yang kini berevolusi menjadi lumpur tebal. Bukannya bergerak maju, mobil tetap di tempat dan sesekali bergeser ke kiri dan ke kanan. Lumpur berserakan seperti adonan kue yang tak sengaja tersenggol dari atas meja. Sedangkan jurang-jurang yang berada di sisi jalan nampak memanggil-manggil. Terlihat sang supir dengan wajah tegang dan tangan terburu-buru mengatur alat kemudinya. Beberapa saat kemudian akhirnya mobil berhasil melalui tanjakan itu dan terdengar helaan nafas yang panjang dari semua penumpang. Tapi ketegangan belum usai, sebuah jalan datar dengan kontur yang miring membuat mobil menari-nari di atas lumpur. Sang supir mengarahkan roda ke kiri tapi kondisi jalan yang licin membuatnya sulit dikontrol, Hillux putih nyaris menabrak tebing, mungkin takut mobil barunya terluka, dengan lincah pengemudi itu membanting stirnya kembali ke kanan dan mobil melintang di tengah jalan tepat mengarah ke jurang yang sangat dalam. Untungnya mobil langsung berhenti di situ, ada gundunkan tanah yang menghentikannya.
Andai saja jalan itu ramai dilalui kendaraan maka habislah kami semua. Seluruh penumpang turun mencari ruang yang lebih bebas, terlihat wajah-wajah pucat dan tegang. Saya sendiri mendekati tebing yang basah, duduk jongkok memeluk lutut lalu menarik nafas panjang kemudian melepasnya seraya membaca istighfar, “Astaghfirullaah”. Mobil yang satu lainnya datang menghampiri, menanyakan kondisi lalu mencoba menenangkan kami. Tak lama kemudian perjalanan kembali dilanjutkan dan akhirnya kami sampai di jalan beraspal. Itu artinya kami telah tiba di ibukota kecamatan Kelay, Alhamdulllah.
Akhirnya kami menjumpai jalan beraspal.
butuh waktu berjam jam untuk bisa sampai di sini
"Ketika Aspal telah nampak, kita telah tiba di Kelay"

***
Baca part lain dari cerita porseni ini:

0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #7 Kelay"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa