Porseni, Berjuang atau Pulang saja #3Melatih mental dan fisik


Berlatih dan belajar disiplin



Permainan sepak bola semakin ramai, kini bukan hanya anak-anak yang bermain tapi pemuda kampung bahkan orang-orang tua juga ikut. Lapangan semakin sesak dan latihan anak-anak menjadi kurang efektif, tapi urusan keceriaan dan seru-seruan semakin seru. Anak-anak semakin bagus dalam menendang, memberi umpan, menyundul, dan mengontrol bola. Perkembangan mereka luar biasa pesat. Begitu pula dengan permainan takraw. Tepat di depan rumah yang saya tinggali, ada lapangan takraw yang sudah sangat lama tak dimanfaatkan, garis-garisnya tidak kentara lagi tertutupi oleh rumput yang tumbuh memenuhi lapangan. Hanya 2 tiang yang masih berdiri kokoh menandakannya sebagai lapangan takraw.
Lapangan itu kemudian kami bersihkan, Ahmad membuat garis dengan memanfaatkan kabel bekas yang tak terpakai lagi, kedua tiangnya kami hubungkan menggunakan tali rapia sebagai net. Ketika putus kami ganti dengan tali yang baru dan ketika tali telah habis kami menggunakan rumput jalar yang tumbuh subur di sekitar area tersebut. pokoknya kami tak kehabisan akal untuk tetap mersakan serunya bermain takraw. Minimnya fasilitas tak mampu menghentikan kami.
Meskipun tidak jago memainkan bola rotan itu, saya punya sedikit modal dengan kemampuan juggling yang saya miliki. Kebiasaan bermain futsal atau bola kaki memudahkan saya untuk memberikan pelatihan dan memperlihatkan contoh secara langsung kepada anak-anak untuk memainkan bola agar tidak jatuh ke tanah. Dan yang terpenting adalah mengajari mereka aturan-aturan dasar dalam permainan takraw seperti setiap team terdiri atas 3 pemain, ketika melempar bola pelempar harus berada di dalam garis seperempat lingkaran, dan bola hanya bisa disentuh maksimal tiga kali. Anak-anak begitu antusias dengan permainan ini, dan lagi-lagi mereka sangat mudah memperagakan yang mereka lihat. Pada awalnya mereka begitu takjub ketika melihatku bermain, pada saat saya memainkan bola dengan kaki yang menyilang mereka sangat terkejut dan berkata “Attaiwa, beguru’ bissanya!” kurang lebih terjemahannya begini “Ya ampun, Pak guru kok bisa seperti itu!” saya hanya tertawa kemudian berkata “Oh mahal itu dipelajari selama 8 semester baru bisa” diiukuti oleh tawa.
Adapun permainan volley bukan saya yang melatih ataupun mengajar justru sebaliknya, saya yang belajar dari mereka. Di semua perkampungan Dayak yang ada di sepanjang hulu sungai Kelay ini permainan volley adalah permainan rakyat. Permainan ini disenangi oleh semua usia, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Merka begitu kuat ketika memukul bola dan nampak sangat lihai dalam memainkannya. Saking gemarnya masyarakat kampung dengan olahraga ini sampai-sampai ada 2 lapangan yang tersedia, lapangan putra dan putri. Bahkan satu diantaranya sudah ditembok layaknya lapangan professional.
Ketika bermain volley bersama murid-muridku, saya selalu menjadi bahan tertawaan mereka karena tak mampu menyebrangkan bola service. Bergantian mereka berusaha mengjariku teknik pemukulannya agar bisa terlempar jauh tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Akhirnya saya sedikit bisa tapi kuakui olahraga ini sulit buatku karena otot lengan yang sangat lemah dan tinggi badanku yang tidak seberapa. Berbeda dengan siswa-siswiku yang setiap hari mendayung perahu, mengangkat air, berburu binatang, mencari kayu bakar, dan mendulang emas. Badan mereka begitu kekar dan ototnya kuat-kuat. Ah, mereka adalah juaranya, kehidupan keras yang tiap hari mereka lalui adalah pelajaran yang sangat berarti buatku untuk terus mensyukuri hidup yang selama ini saya dapatkan.
A new thing will bring a new challenge. Kebiasaan baru anak-anak berolahraga dengan intensitas yang cukup padat memberikan tantangan baru buat saya. Yaitu tantangan berupa kedisiplinan. Di pagi hari mereka datang lebih cepat meminta bola lalu bemain sebelum jam pelajaran dimulai. Awalnya, hal ini berefek positif karena mereka tidak terlambat lagi datang ke sekolah, tapi lama-kelamaan ini menjadi masalah ketika mereka enggan untuk langsung berhenti pada saat besi tua yang dipukul tanda masuk telah berbunyi. Terlebih lagi ketika jam istirahat, kebanyakan mereka memilih untuk tinggal bermain dan ketika waktunya masuk mereka malah pulang beralasan untuk makan, lapar katanya. Hal ini membuatku memeras otak untuk memediasi antara semangat mereka untuk berlatih dan kedisiplinan sebagai aturan sekolah. Tentunya saya tidak ingin mencederai semangat mereka untuk menjadi pemain yang hebat dan menang dalam setiap pertandingan saat pergelaran PORSENI nanti tapi saya juga tidak ingin jika mereka kemudian mengabaikan jam pelajaran.
Berkali-kali cara yang super lembut saya lakukan. Meminta dengan baik-baik lalu kemudian membujuk mereka untuk memasuki kelas tapi apa yang saya dapatkan adalah kekecewaan. Tidak sedikit perkataan mereka yang mengiris-iris hatiku, seperti ketika di satu siang yang terik dan badanku sedang kurang fit.
“Ayo, Nak! Sekarang kita belajar” panggilku kepada beberapa anak-anak yang masih asyik bermain.
Dubay, Pak guru” artinya sebentar lagi. Saya dengan sabar menunggu mereka. 5 menit kemudian saya kembali menegur tapi mereka malah bergeming seolah saya tidak ada di sana. Saya meninggalkan mereka memasuki kelas dengan perasaan kurang enak, berharap mereka mengerti dan mau ikut ke kelas. Yang datang hanya beberapa orang saja sedangkan yang lain masih tetap bermain. Saya keluar dengan perasaan sedikit emosi memanggil mereka dengan nada yang dipaksa lembut.
“Aduh, kalian, mau belajar apa main? Sekarang waktunya belajar, nak. Sudah itu, kita belajar dulu ya!” Senyumku sedikit kecut. Bukannya berhenti mereka malah berbicara menggunakan bahasa daerah mereka yang tidak saya pahami. Otomatis saya merasa tersinggung dengan sikap seperti itu, “pasti mereka sedang mengatai saya” pikirku.
“Eh kalian ini kenapa susah sekali dikasih tau. Kalau kalian tidak berhenti sekarang juga, bola itu saya ambil dan tidak akan saya keluarkan lagi!” sekarang nada suaraku agak meninggi.
“Ah, Pak guru ini ganggu orang main saja!” Simson berkata serius sambil membanting bola lalu pergi menyeret tasnya. Saya merasakan degup jantungku lebih kencang, dan tubuhku sedikit bergetar. Saya sebisa mungkin menahan emosi lalu kembali ke kelas. Dengan susah payah saya kembali memasang senyum lebar di wajah dan besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Huhhh berat juga menjadi guru.
    Bukan hanya itu, mereka memliki kebiasaan habis pake langsung buang. Ketika selesai bermain saya selalu menemukan mereka meninggalkan bola begitu saja, panas kepanasan dan hujan kehujanan tanpa ada yang peduli. Itulah mengapa barang-barang yang kami sediakan cepat sekali rusak. Berkali-kali saya ingatkan untuk merawat barang-barang itu tapi mereka tak mengacuhkan semua yang saya katakan. Sampai pada suatu hari saya benar-benar marah dan meluapkannya secara langsung kepada mereka. Hari itu adalah hari jum’at, seperti biasa tidak ada aktifitas dalam kelas, hanya senam atau olahraga. Setelah bermain, lagi-lagi mereka meninggalkan bola begitu saja di tengah lapangan. Saya panggil mereka, kebanyakan siswa kelas 3, 4, 5, dan 6 lalu mengumpulkannya di tengah lapangan.
“Kenapa kalian sama sekali tidak memperhatikan yang saya katakan? Bola itu setelah dipake harus dikembalikan. Jangan ditinggal begitu saja, liat berapa sudah bola kita yang hilang, berapa yang rusak?” Ucapku dengan berapi-api. Mereka hanya tertunduk lalu satu persatu membela diri dengan mengatakan “Bukan saya, Pak guru!”
“Pak guru tidak pilih pilih, pokoknya semua bertanggung jawab menjaga bola ini. Ingat! Sekali lagi saya lihat bola ini tercecer saya sama Pak Ahmad tidak mau lagi membelikan yang baru untuk kalian. Kami sudah berkorban supaya kalian bisa maju tapi bukan begini caranya. Paham?”
“Paham, Pak guru!” jawab mereka pelan.
“Paham, Tidak?!”
“Paham!” sekarang lebih keras dan tegas.
“Bagus, Semua ambil posisi push up!” mereka kemudian push up lalu membubarkan diri dengan diam.
Sejak saat itu, kedisiplinan mereka mengalami perbaikan. Tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya inginkan. Saya tahu bahwa ketidakdisiplinan itu karena selama ini mereka hidup dalam lingkungan yang memang kurang mendukung. Dan saya akui bahwa waktu satu tahun pengabdian tidaklaah cukup untuk merubah mereka semua. Terlebih memberikan pemahaman kepada orang tua, karena mereka jugalah yang memainkan peran utama. Dari kejadian itu pula saya sadar bahwa cara yang lebih keras dan tegas terkadang lebih efektif.
Saya merasakan perjuangan semakin menantang dan akan lebih banyak kejutan yang akan datang. Saya harus lebih sering intropeksi diri dan belajar menjadi yang lebih baik dari pengalaman ini.


***

0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang saja #3Melatih mental dan fisik"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa