Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #Paradoks

Paradoks
Tanah yang becek tidak mengalangi peserta didik SDN 012 Kelay
untuk terus berlatih. 

Pak Adi sedang memberi instruksi kepada barisan pemain yang
akan melakoni pertandingan.
Terlihat suasana pagi yang cerah di kampung yang terkepung pegunungan ini.

Yaret di garda terdepan dalam perebutan bola untuk membuat gol.
Suasana permainan sepak bola di pagi yang sejuk setelah turun hujan

1 bulan menjelang pelaksanaan kegiatan, kesiapan anak-anak tambah mantap. Team sudah dibagi dan latihan lebih fokus dan semakin efisien. Kedatangan beberapa guru lokal menambah tenaga pelatih sekaligus meningkatkan optimisme dan semangat bahwa tahun ini, SD N 012 Kelay, Long Lamcin benar-benar akan mengikuti kegiatan PORSENI tingkat SD untuk pertama kalinya. Kami para guru membagi tugas pelatihan berdasarkan cabang olahraga dan seni. Pak Rendi melatih sepak bola, Pak Adi melatih sepak takraw, saya melatih cabang atletik, Pak Ahmad melatih melukis, dan yang terakhir Pak Mared melatih seni tari. Adapun olahraga volley, mendapat porsi latihan paling sedikit dan anak-anak latihan sendiri, kami hanya memberi pengarahan dan menyemangati.

Kurangnya sarana informasi yang tersedia membuat kami tidak tahu secara pasti tentang cabang olahraga apa saja yang akan dipertandingkan pada saat event nanti. Dan juga tentang tekhnis pelaksanaan, kami bahkan belum tau berapa biaya yang kami butuhkan untuk ke sana atau di mana kami nanti akan tinggal. Yang kami punya hanya satu, semangat untuk berpartisipasi. Dengan begitu, latihan yang kami lakukan hanya berdasar pada pengalaman pribadi saja ketika masih mengikuti loba semasa sekolah dulu. Apakah olahraga sepak takraw itu dipertandingkan atau tidak kami tidak tau yang pastinya anak-anak dilatih dan dipersiapkan.

Saya yang melatih cabang atletik yaitu lari, lompat, dan lempar tidak terlalu kesulitan karena pada dasarnya para murid memiliki fisik yang kuat, dan itulah yang paling dibutuhkan dalam olahraga. Setiap sore kecuali minggu sebelum latihan sepak bola dimulai, saya mengajak beberapa anak yang saya persiapkan untuk beberapa cabang lari. Welden (kelas VI) untuk lari marathon, Amos (VI) untuk lari sprint 100 m, Jeki, yoses, nopel, yaret dan firaun untuk lari stafet. Sedangkan untuk putri, ada Juli (V) pada kelas marathon, Yenni (III) untuk lari srint dan tidak ada atlit putri untuk lari stafet, maklum jumlah siswi hanya sedikit. Kami berlari menyusuri jalanan kampung yang berbukit dan berdebu. Terik mentari yang sangat menyengat membuat nafas lebih cepat habis. Untuk mengukur perkembangan mereka, saya menggunakan stop watch dan hasilnya sangat memuaskan, saya yakin mereka akan menjadi juara, setidaknya juara dalam kategori paling semangat. Lalu bagaimana dengan latihan lompat jauh?

Hamparan pasir halus di sepanjang tepian sungai menjadi arena lompat jauh yang paling eksotis. Air sungai yang jernih dengan suara gemericiknya yang merdu, hijaunya pepohonan yang berbaris sejauh mata memandang dan kicauan burung yang menghibur membuat latihan terasa lebih nikmat. Tidak perlu repot membuat spot karena semua tempat adalah spot yang baik untuk latihan. Setelah melakukan seleksi, Amos lagi lagi menjadi  pemain utama dan Welden sebagai cadangan. Jarak lompatan yang dijangkau Amos adalah 4,20 meter, raihan yang fantastis untuk ukuran anak sekolah dasar. Untuk urusan lempar, mereka hidup dari berburu dan menombak ikan. Tak perlu diragukan lagi.

            Semua latihan berjalan dengan sangat baik dan kepercayaan diri anak-anak juga semakin mantap. Rumor tentang kegiatan ini mulai sampai ditelinga orang tua dan semangat untuk melihat perubahan akhirnya menjalar pada mereka. Beberapa anak kini memiliki sepatu bola, benda yang sangat langka di kampung ini, bahkan ada orang tua yang merajut rotan yang dia ambil sendiri dari hutan untuk dijadikan bola takraw. Satu persatu aneka bola plastic bermunculan, permainan semakin banyak, dan kampung terasa lebih hidup. Hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

            Dalam euphoria yang terus berkembang, ada satu fakta yang meredupkan semangatku. Uang!
            
Siang itu, saya ke camp perusahaan logging yang terletak tidak jauh dari pemukiman untuk tersambung ke internet menggunakan jaringan wifi yang dimiliki oleh perusahaan. Melalui salah satu social media saya berdiskusi langsung dengan ketua KKKS kecamatan Kelay untuk menanyakan teknis pelaksanaan kegiatan.
            “Assalamualaikum, apa kabar, Pak? Saya mau menanyakan perkembangan terkini terkait kegiatan nanti”
            “Waalaikumsalam, baik. Waktunya tetap 9-13 februari di Kampung Merapun. Setiap sekolah dikenakan biaya registrasi sebesar Rp. 20.000 persiswa, terhitung total jumlah murid yang terdaftar di sekolah. Jumlah peserta yang diutus tidak dibatasi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing”
            “Apa-apa saja yang panitia fasilitasi, Pak? Agar kami bisa menyiapkan kekurangannya?”
            “Tempat tinggal dan transportasi Sidobangen (ibukota kecamatan) – Merapun. Jadi kalian yang di hulu sana usaha untuk bisa sampai di kecamatan, nanti mobil perusahaan sawit yang jemput untuk ke Merapun. Konsumsi selama kegiatan dibebankan sepenuhnya kepada sekolah sendiri.”
            “Bagaimana dengan pertandingannya, Pak? Apa-apa saja yang dilombakan?”
            “Kalu itu sudah ada jadwal lengkapnya, aku sudah buat dan akan segera dikirimkan kesekolahmu. Kenapa juga sekolah kalian tidak ada yang pernah mengikuti rapat, sisia kalian saja yang belum tau informasi itu”
            “Maaf, Pak, kami jauh dan juga tidak ada pemberitahuan kalau ada rapat yang diadakan. Kami pikir kepala sekolah sudah mengurusi itu”
            “Ah, kepala sekolahmu orang tidak beres. Dia tidak pernah muncul”
            “Hehehe, kami tidak tau kalau persoalan itu, Pak.”
            “Ya sudaah, persiapkan siswamu, bawa secukupnya saja biar hemat anggaran”
            “Ok pak. Tapi semua pembiayaan seperti transportasi, konsumsi dan registrasi di mana bisa kami dapa?”
            “Sebenarnya itu tanggungan kepala sekolahmu, tapi kalau dia tidak ada ya usaha sendiri, minta sumbangan orang tua murid kah, guru kah, perusahaan kah. Atau apa saja. Intinya kalian usaha.”
            
            Saya bingung mau membalas apa lagi, otakku bekerja keras memikirkan dana yang kami butuhkan sangat banyak tapi sepeserpun belum ada persiapan. Jari-jariku kembali menyentuh layar menuliskan kalimat “Terima kasih pak”. Belum sempat ada balasan yang masuk saya sudah beranjak meninggalkan camp perusahaan dan jaringan kembali terputus.

            Fakta itu menjadi beban berat yang terus saya pikirkan. Latihan tetap berlanjut seperti biasanya, mulutku masih tak berhenti mengeluarkan kata-kata semangat dan meyakinkan anak-anak bahwa kita bisa. Saya hanya tidak ingin mencederai semangat mereka, saya tidak ingin membunuh mimpi-mimpi yang telah terbangun, saya tak ingin melihat mereka terluka. Tapi sejatinya, hatiku ragu dan semangatku tidak seperti apa yang terus kutunjukkan pada mereka. Sungguh, ini adalah paradox.


***

0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #Paradoks"

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa